Kresna Gugah


 Astinapura sedang mengadakan paseban agung. Sidang agung ini dipimpin langsung oleh Raja Astina Prabu Kurupati (Suyudono, Duryudono) dengan agenda strategi apa yang akan diterapkan guna memenangkan peperangan baratayuda nanti. Hadir dalam sidang itu antara lain Patih Sangkuni, Pandita Druna yang bermarkas di Sokalima, Prabu Karna dari Awangga, para kurawa dan diundang pula Raja Mandura Prabu Baladewa. Diantara agenda utama diselingi pembicaraan dan diskusi yang terkait dengan isu – isu masa kini. Dicapailah suatu kesimpulan bahwa di antara Pandawa dan Kurawa siapa yang mampu memboyong Prabu Kresna dan menjadikannya pendamping dalam peperangan, akan memenangkan perang. Setelah keputusan strategi disepakati maka didiskusikanlah apa rencana yang akan dijalankan guna memboyong Prabu Kresna ke Astina. Setelah melalui perdebatan panjang dengan diselingi berbagai interupsi baik yang serius maupun lebih banyak yang cari muka dari para kurawa, Prabu Kurupati setuju dengan usul Pandito Druno bahwa yang paling mungkin untuk membujuk Sri Kresna agar mau memihak Kurawa adalah saudara tua Prabu Kresna sendiri yaitu Prabu Baladewa. Maka Kurupati pun meminta Prabu Baladewa agar mau membujuk prabu Kresna. Prabu Baladewa menyanggupi pemintaan Prabu Kurupati dengan syarat dia akan pergi sendiri tanpa perlu didampingi oleh satu orangpun dari para Kurawa. Kurupati bersedia dengan syarat ini. Maka berangkatlah Prabu Mandura untuk membujuk Prabu Kresna.

Setelah sidang selesai, Patih Sengkuni yang memang bertabiat buruk mempunyai agenda lain. Karena memang sikap dasar selalu curiga, dia pun mencurigai syarat yang diminta oleh Prabu Baladewa itu. Mengapa harus pergi sendiri ? Wah ini pasti ada deal – deal politik yang kita (kurawa) tidak boleh tahu. Pasti Prabu Baladewa akan making deal tersembunyi dengan Prabu Kresna, jangan – jangan malah dengan Pandawa. Kalau demikian, bukan untung yang didapat Kurawa tetapi malah kerugian. Orang Kurawa sudah capek – capek ngasih ongkos perjalanan Prabu Baladewa kok. Masak nggak akan dapat hasil yang setimpal? Kurawa tidak bisa membiarkan ini terjadi, maka kurawa harus ngindik (mengintai, memata – matai) kepergian Prabu Baladewa. Begitu hasutan Prabu Sengkuni kepada adik – adik Prabu Suyodono di warung kopi sebrang alun – alun kerajaan. Dasar Dursasana dkk tidak punya pendirian, mereka selalu seperti kerbau dicocok hidung kalau sudah menghadapi ”nasihat” dan wejangan sang paman Patih Sengkuni. Maka berangkatlah mereka memata – matai Prabu Baladewa tanpa sepengetahuan Suyodono. Tetapi keberangkatan mereka bukan layaknya intelejen yang menyamar, melainkan dengan membawa perlengkapan dan peralatan perang dan logistik yang berlimpah. Maklum mereka terbiasa dengan hidup enak dan makanan berlimpah, jadi ya takut kelaparan di jalan.

Syahdan di tempat lain….

Setelah misinya ke Astina atas permohonan Pandawa gagal dalam kisah Kresna Duta. Prabu Kresna,  seperti kebiasaanya kalau sedang rungsing, ruwet menghadapi masalah – masalah yang berat – melakukan tapa brata dengan cara nyare (tidur) tetapi bukan tidur yang biasa. Kalau saya tidak salah tangkap tempat pertapaan yang digunakan oleh Prabu Kresna ini namanya Pertapaan Jala Tunda. Tempat pertapaan ini pada saat itu dijaga ketat oleh anak – anak muda dan kerabat Dwarawati. Dipimpin oleh Setyaki satria Lesan Pura dengan diampingi oleh Udawa patih Dwarawati,  Gatot Kaca raja Pringgodani, dan anak Prabu Kresna Raden Samba. Prabu Kresna berpesan jangan sampai ada yang berani mendekat apalagi membangunkan Prabu Kresna sampai beliau bangun sendiri.

Entah bagaimana ceritanya, Patih Sengkuni, Prabu Karno, Duryudono dan kawan – kawan datang lebih dulu ke sekitar Jala Tunda daripada Prabu Baladewa. Maka mau tidak mau betemulah Kurawa dengan para pengawal pertapaan Jalatunda. Singkat cerita terjadi percekcokan dan akhirnya perkelahian antara Para Kurawa dengan pengawal – pengawal prabu Kresna. Hampir semua satria Kurawa dapat dikalahkan oleh pengawal Kresna karena mungkin mereka sudah terlalu lelah dan kekenyangan di jalan. Sampai akhirnya Prabu Karna maju ke medan perkelahian dengan mengerahkan senjata andalannya. Namun belum sampai pertempuran lebih parah terjadi, datang Prabu Baladewa. Selain sakti mandra guna, Prabu Baladewa juga punya sifat dasar pemarah. Kalau sudah marah siapaun tidak akan bisa melawannya. Pernah dia dikroyok orang sepasar, tetapi tetap saja dia menang. Kali ini Para Kurawa yang jadi sasaran amarahnya, dengan berteriak – teriak satu per satu Kurawa ditempeleng, ditendang dan dihajar. Tidak terkecuali sangkuni, ”He Sangkuni, otak kamu di mana…?! Kamu meremehkan kemampuan Baladewa..hmm!? Apa kamu tidak dengar, Apa kamu tuli, apa kamu buta, Khan semua yang hadir dalam sidang agung Astina sepakat dengan aturan main bahwa aku akan ke sini sendiri tanpa ada pengikut apa lagi cecunguk – cecunguk Kurawa macam kalian !!! Hei ! Kamu tua bangka tidak bisa jadi teladan ponakan – ponakanmu. Setiap kali kamu hanya bikin rusuh, hasat, iri dengki dan selu buruk sangka. Katanya kamu Patih terhormat! Tetapi goblokmu bertambah – tambah. Katanya abdi dalem kerajaan, tetapi ternyata tidak tahu aturan! Ayo pulang ke astina, kalau tidak aku sobek – sobek mulutmu! Pulang tidak ???!!!” Mendapati semprotan dan amarah seperti itu, tentu saja Sangkuni terkencing – kencing dan lari terbirit – birit sambil mohon ampun agar tidak dipulasara (dianiaya, dihajar). Begitulah, Sengkuni dan Kurawa ngacir kembali ke Astina dengan sekujur tubuh biru lebam oleh tangan dan kaki Prabu Baladewa, belum lagi rasa malu karena makian – makiannya.

Kejadian itu tentu saja dilihat oleh Udawa dan pengawal prabu Kresna yang lain. Mereka pun ketar – ketir dan menahan rasa khawatir juga. Kalau memang niat Baladewa untuk menemui Prabu Kresna tidak bisa direm, lalu apa yang mesti mereka lakukan? Setyaki yang paling kebingungan. Membiarkan Prabu Baladewa mendekati pertapaan Prabu Kresna, adalah melanggar perintah Prabu Kresna. Tetapi menghalangi Prabu Baladewa sama saja dengan mencari masalah, masih untung kalau hanya dimaki. La kalau digebugi, apa nggak pegel – pegel badan Setyaki yang kecil itu (Setyaki terkenal dengan Bima Kunthing, Wajah dan pembawaanya seperti Raden Bimasena, tetapi badannya kecil, kunthing). Akhirnya Setyaki pasrah saja kepada Udawa yang lebih tua, berpengalaman, terkenal cerdik dan bijaksana. Jawab Udawa ”Tenang Adi Setyaki…, jangan khawatir biar saya, Udawa yang menghadapi Prabu Baladewa”.

Udawa adalah Patih Dwarawati. Dia sudah sangat lama mengabdi kepada keluarga Sri Kresna. Jadi tahu betul tabiat masing – masing anggota keluarga. Termasuk dia tahu bagaiman sifat Prabu Baladewa. Dia juga tahu bagaimana harus bersikap kepadanya. Kedekatannya dengan Kresna sedikit banyak juga mempengaruhi sikap – sikap dan cara berpikir Udawa. Udawa sebenarnya adalah menantu Patih Sangkuni, tetapi perkawinan dengan anak Sangkuni pun dilalui dengan kisah yang menarik dan menunjukkan kecerdikannya dalam menghadapi situasi.

Bertemulah Prabu Baladewa dengan Patih Udawa.

”Udawa !”,

”Siap Sinuwun Prabu.” Jawab Udawa.

”Kamu tahu siapa aku ??”, dengan masih menyimpan marah dan nada tinggi Prabu Baladewa menyentak Udawa, masih berpikiran Udawa akan membantah.

”Ya tahu to sinuwun, masak lupa. Jenengan khan Penguasa Mandura, sinuwun Prabu Baladewa”.

”Bagus, itu kamu tahu! Bodho, maksudku aku ini apanya Prabu Kresna?”.

”Sinuwun prabu, kakak Prabu Kresna”.

”Bagus, aku kakak Prabu Kresna, sekarang aku mau ketemu adikku sendiri, kamu menghalangi…Hei…? Jangan salahkan aku kalau aku ngamuk karena kamu halangi”. Prabu Baladewa masih dengan stelan nada tingginya.

”Lo, yang menghalangi itu siapa to Prabu?. Paduka khan kakaknya, masak sama kakaknya saya menghalangi. Kalau mau ketemu adinda ya, silakan. Kami tidak menghalangi, kalau tadi kami menghalangi Kurawa, itu karena mereka bukan apa – apanya. Dan Prabu Kresna pesan kepada kami supaya tidak mengijinkan siapapun mendekat apalagi membangunkan beliau. Sekarang kalau Prabu mau bertemu beliau ya silakan, wong paduka kakaknya to, saudara tua yang dihormati. Khan ya tidak pas dan tidak pantas kalau saya menghalangi paduka. Tapi apa sang Prabu tahu tempatnya di mana ?”.

”Ha..ha..ha.., bagus – bagus, kamu memang patih pilihan Dwarawati. Tidak salah adikku yang bijaksana itu memilih kamu sebagai patihnya. Pada periode pemilihan patih berikutnya, aku akan usulkan kamu masih tetap masuk nominasi. Tapi aku tidak tahu tempat bertapa Sri Kresna. Kamu bisa antar aku ?”. Prabu Baladewa sudah mulai mendingin hatinya, siasat Udawa berhasil.

Selanjutnya Prabu Baladewa mengikuti Udawa ”menuju” pertapaan Kresna. Udawa memang tidak bermaksud menunjukkan jalan dan pertapaan Kresna. Tanpa sadar diajak Baladewa muter – muter sambil ngobrol ngalor ngidul. Ini obrolannya yang sempat saya rekam dalam ingatan.

”Sudah berapa lama kalian menjaga Prabu Kresna bertapa?”. Tanya Baladewa.

”Ya belum lama, baru sekitar sebulannan sinuwun..”.

”Hmmm…memang adikku ini dari muda senang bertapa dan ”nglakoni”. Tidak heran dia jadi kekasih Para Dewa. Selain dikasihi, apapun yang menjadi keinginannya selalu diridhai oleh Yang Maha Kuasa. Adikku ini juga terkenal bijaksana dan terbukti ucapan –ucapannya”.

”La, iya Prabu. Itu semua kita pada mengerti. Tidak hanya di lingkungan kerajaan Dwarawati, di manca negara pun kesaktian dan kebijaksanaan Sri Kresna seolah tiada tanding. Maklum pula, beliau khan titisan Dewa Wisnu. Tapi beliau juga sering memuji Prabu Baladewa di depan saya”

”Masak sih? Ah yang bener ?”

”Iya Prabu, sumpah …Katanya ’Udawa kamu harus hormat kepada kakang Prabu Baladewa, dia kakakku yang sangat aku sayangi. Beliau sangat bersih hatinya, penyayang terhadap sesama. Aku sangat sayang kepadanya, maka aku akan sangat menjaga supaya tidak terjadi apa – apa kepadanya. Aku juga minta kamu jaga beliau. Beliau adalah panutan keluarga kami’. Begitu katanya…”

”Ha..ha.., ah yang bener. Masak sih…sampai segitunya?”.

”Bener sinuwun…

”Ah yang bener to, begitu sayangnya Sri Kresna kepadaku?”.

”Masyaallah, masak Paduka tidak percaya sama saya ?”

”Ya ya saya percaya, tapi ngomong-2 kok kita nggak sampek-2 ini jalan ke pertapaannya?”. Udawa memang tidak menuntun Baladewa ke arah yang seharusnya.

”Sebentar lagi baginda, beliau memang memilih tempat yang paling jauh dan tidak biasanya. Maklum masalah yang dihadapi beliau kelihatannya sangat – sangat gawat. Sehingga tidak mau didekati apalagi diganggu siapapun”.

”Oh begitu ya ….?”

”Iya, sinuwun…”.

“Sebentar – sebentar….Tadi kamu bilang Sri Kresna pesan bahwa siapapun tidak boleh mendekat, benar begitu ?”

“Iya sinuwun.., begini beliau bilang ‘Udawa, misiku menjadi utusan duta Pandawa telah gagal, ini masalah yang rumit. Perang besar membayang. Untuk itu aku akan bertapa tidur untuk meminta petunjuk yang Maha Kuasa. Aku merasa bertapaku ini bakal lama. Tolong kamu jaga jangan sampai ada siapapun yang mendekat. Kalau kamu bisa menangkap lalat yang mau mendekat, kamu harus menangkapnya sebab akan sangat bahaya bagi lalat itu kalau sampai mendekati aku. Jadi jangan sampai ada yang mendekat kalau tidak ingin terkena mara bahaya seketika yang mengerikan’. Begitu katanya, tapi khan Paduka Prabu Baladewa saudara kandung dan kayaknya, saya pikir nggak apa – apa kalau Paduka yang mendekati Sri Kresna”.

“Ah yang bener to, lalatpun bisa celaka kalau mendekati Sri Kresna. Kamu jangan ngoyo woro ah”.

“Bener sinuwun, itu yang beliau bilang. Masak saya berani memanipulasi perkaataan beliau sih ? Saya ini khan hanya abdi beliau, tugasnya ya menyampaikan pesen beliau apa adanya. Jadi juru bicara ya gimana perkaataan yang dijurubicarai to ? Memang, seperti sinuwun katakan ucapan Prabu Kresna selama ini terkenal manjur. Sabda beliau selalu didengar dan dituruti yang Punya Hidup. Tapi khan paduka kakaknya, mungkin tidak apa – apa lah. Apalagi akan celaka seperti lalat tadi sih ?”.

Prabu Baladewa mulai ragu dengan niatnya. Dia tahu pasti kesaktian adiknya itu.
”Wah yang bener, ah. Tapi khan dia bilang SIAPAPUN to ? tidak terkecuali aku ?”.

Prabu Baladewa mulai ketinggalan langkah dari Udawa karena keraguannya apakah perlu melanjutkan niatnya untuk membangunkan tapa brata adiknya.

”Ya memang beliau bilang SIAPAPUN, tapi khan Paduka kakak tersayang to?. Masak nggak boleh mendekat, apalagi khan katanya kangen”.

Prabu Baladewa sudah berhenti berjalan. Udawa tetap mengoceh sendirian…

”Ya jadi hamba pikir, nggak masalah kalau Paduka mau mendekati dan membangunkan tidur Sri Kresna. Sabda Prabu Kresna yang mengatakan siapapun yang mendekat akan kena bebendu dan bisa jadi terkena bahaya seketika itu khan mungkin berlaku hanya untuk orang lain. Buat Paduka Prabu Baladewa Raja Mandura ya nggak akan berlaku. Mungkin…tapi ini mungkin lo. Sebab bagaimanapun khan Paduka masih saudara sedarah daging, masak ya Prabu Kresna tega. Ya to paduka? Paduka…..? Begitu khan Paduka ….? Paduka…..?”.

Udawa menoleh ke belakang. Sudah tidak ada lagi Prabu Baladewa. Dikejarnya beberapa saat untuk memastikan keberadaan Prabu Baladewa. Memang Prabu Baladewa sudah mengurungkan niatnya mendekati Prabu Kresna.Takut dengan sabda pesan dan ancaman adikknya itu. Setelah pasti Prabu Baladewa mengurungkan niatnya, Udawa berteriak ”Yesss…..”. Saking senangnya Udawa jingkrak – jingkrak sendiri seperti orang gila hingga kepergok Setyaki.

”Kakang Udawa…kok sampeyan jingkrak – jingkrak seperti orang yang kurang waras. Memangnya habis dapat apa ?”

”He..he…he…., siasat saya berhasil Angger.  Prabu Baladewa mengurungkan niatnya tanpa perlu kita keluar keringat”

”Wah memang Kakang Udawa ahli siasat. Nggak heran kalau Sengkuni pun mau melepaskan anaknya untuk dikawini sama sampeyan”
”He..he..sudah Dik, tugas kita sementara inii berhasil. Tidak ada yang bisa mendekat Prabu Kresna. Tapi masih ada PR, nanti kalau sinuwun Pandawa yang mau mendekati pertapaan, kita mesti gimana ??. Baiklah sambil istirahat kita pikir dulu…”

Kita harus meninggalkan dulu suasana pertapaan Jalatunda. Ringkasan cerita sebelumnya, Prabu Baladewa mengurungkan niatnya untuk mendekati Pertapaan Sri Kresna karena takut terkena bebendu dari adikknya itu. Sekarang kita alihkan sorot kamera ke Kahyangan Suralaya. Bethara Guru, kepala dan Bapak para Dewa sedang memimpin sidang untuk memutuskan skenario perang Baratayudha. Saat itu skenario perang Baratayudha hampir lengkap ditulis oleh Dewa…(walah saya lupa namanya, sebut saja dulu Bathara X) selaku sekretaris Kahyangan Suralaya. Dari hari pertama sampai dengan hari terakhir, skenario perang sudah tersusun rapi. Hari pertama ditandai dengan gugurnya satriya – satriya Wiratha yang memihak Pandawa di tangan Begawan Bisma. Hari ke 18, hari terakhir perang Baratayudha ditandai dengan tewasnya Prabu Suyudono dan Dursasana.

”Kakang Narada…” Bethara Guru memulai diskusi topik utama siding

”Ya saya Adik Guru..”

”Kakang, bagaimana skenario perang Baratayuda yang sedang dituliskan oleh Sekretaris Kayangan?”

”Alhamudullillah Adi Guru, semuanya selesai sesuai rencana yang ditargetkan..”

”Terimakasih atas kerja keras dan bimbingannya Kakang, sehingga proyek pengerjaan skenario ini selesai tepat waktu dan tidak sampai over baik dari sisi waktu pengerjaan maupun biaya yang harus dikeluarkan. Kakang, ceritakanlah kepada saya skenario perang yang sudah ditulis dalam kitab Baratayudha itu”

Maka mulailah Bethara Narada menceritakan secara rinci skenario perang dari hari pertama sampai dengan hari ke delapanbelas.

”Kakang Narada, rasanya ada yang kurang dari skenario ini. Raja Mandura Prabu Baladewa dan Antareja putra Raden Bima belum masuk skenario. Mengapa tidak kita tambahkan satu hari lagi sehingga menjadi 19? Pada hari terakhir Prabu Baledewa akan melakukan perang tanding melawan Raden Antareja. Bagaimana menurut Kakang Narada ?”

”Hmmm….Kalau memang begitu kehendak Adinda, saya hanya dapat mangayubagya, ikut dan menyetujui saja bagaimana baiknya”

”Kalau begitu Kakang, tolong perintahkan kepada sekretaris Kahyangan untuk melengkapi skenario nya menjadi 19 hari dengan memasukkan Prabu Baladewa dan Raden Antareja dalam skenario perang besar itu”

”Siap adinda…”

Dipanggillah Bathara X selaku sekretaris Kahyangan oleh Bathara Narada.

”Anakku Ngger, Bathara X”

”Iya Pikulun, saya siap melaksanakan dhawuh dan keputusan sidang para Dewa”

”Anakku, sudah menjadi keputusan sidang bahwa perang baratayuda akan digenapkan menjadi 19 hari dengan skenario hari terkhir adalah perang tanding antara Prabu Baladewa dan Raden Antareja. Maka dari itu, silakan kamu selesaikan penulisan skenario kitab Baratayudanya”

”Sendika dawuh Pikulun…”

Bathara X mengambil kembali cupu tempat tinta, meraih kembali pena dan membuka kembali lembaran halaman terakhir yang masih kosong dari kitab Baratayuda. Bathara X dengan pena di tangan, cupu diatas dipan dan kitab dengan lembaran kosong halaman terkahir, bersiap menuliskan bab terakhir episode perang Baratayuda. Ketika tangan dan jemarinya melambai dan bersiap menyentuhkan ujung pena ke cupu berisi cairan tinta, mendadak entah dari mana dan bagaimana datangnya seekor kumbang menyambar cupu dan menumpahkan tinta di dalamnya sehingga habis tanpa sisa. Tidak cukup sampai di situ, saat Bathara X terkesima dengan kejadian yang baru saja dialami dan dilihatnya, lebih cepat dari kedipan mata kumbang misterius yang tidak diundang ini menyambar dan membawa terbang Kitab Baratayuda yang belum lagi mulai dituliskan skenario hari ke 19. Tentu saja Bathara X sangat terkejut atas kejadian ini. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali melaporkan tumpahnya tinta dan hilangnya kitab ini kepada para Dewa atasannya.

Sambil lari tergopoh – gopoh, dia melapokan kejadian ini kepada Bathara Narada..
”Sinuwun, ketiwasan sinuwun. Ini benar – benar celaka…Saya mohon maaf atas kejadian ini, memang bukan salah saya, tapi saya saya bersiap diri untuk menerima hukuman utnuk menebus dosa dan kesalahan hamba .”

”Anakku, sabar – sabar. Ambil napas dulu, tenangkan hatimu, dinginkan kepalamu, jernihkan pikirmu…… ”

Beberapa saat Bathara X mencoba bersikap tenang dan menata perasaanya. Setelah perasaan dan hatinya tenang, dia mulai pembicaraan lagi

”Pikulun, ini kejadian yang benar – benar di luar kendali saya”

”Ya ya…, ceritakanlah dengan jelas”

“Pikulun, Ketika saya bersiap menuliskan skenario Baratayudha hari ke 19 tiba – tiba saja datang seekor kumbang yang menyambar cupu tinta dan membawa terbang kitab Baratayudha…Maafkan hamba Pikulun“

“Weee la dalah…..ini rasanya bukan Kumbang sembarangan. Nngger..Bayu, Indra, Brama…” Narada memanggil Para Dewa yang lain

“Sedia Pikulun” Jawab para dewa itu…

“Jangan terlalu lama menunggu, kerahkan semua potensi Kahyangan. Pasukan pengintai, pasukan pemukul, pasukan pemburu dan semua yang kita punyai. Lengkapi dengan persenjataan sekomplet mungkin…Kejar Kumbang itu sampai dapat, tangkap hidup – hidup dan ambil kembali kitab Baratayudha darinya”

”Sendika dhawuh pikulun….”

Tidak perlu waktu terlalu lama bagi Para Dewa untuk mengejar dan menangkap Kumbang misterius itu. Dengan kesaktian dan kekuatan yang dimiliki Kahyangan, seekor Kumbang hanyalah setitik buih di tengah lautan luas. Setelah ditangkap, dihadapkanlah Kumbang ini kepada Bathara Guru dan Bathara Narada. Seketika Si Kumbang misterius ini berubah wujud kembali aslinya yang tidak lain adalah Ruh Prabu Kresna yang sedang moksa dari Raganya. Seperti kita tahu, Raganya terlihat bertapa nyare di Pertapaan Jala Tunda. Ruh Prabu Kresna ini tampak dalam wujud Kresna muda, ketika itu dia dikenal sebagai Raden Narayana.

”Narayana, Narayana….Ingsun sudah menduga kalau Kumbang nyalawadi2 tadi sebenarnya kamu anakku.” Bathara Guru memulai pembicaraan…

”Sendika sinuwun, mohon maaf atas segala kesalahan hamba”

”Bailklah, titisan Wisnu. Apa sebenarnya yang menjadi kemauanmu dengan bertingkah seperti itu?..”

”Pikulun, sebenarnya saya sudah mendengarkan semua pembicaraan mengenai skenario Perang Baratayudha. Saya mohon dengan sangat agar skenario hari ke 19 diurungkan pikulun”

”Hmm…., berikan alasan yang tepat mengapa kami harus membatalkan skenario hari ke 19 itu?”

”Pikulun, kita semua tahu bagaimana sakti mandra gunanya Raden Antareja3. Antareja dapat menyelam ke bumi semudah kita menyelam ke air kolam. Selain itu anak saya ini hanya dengan menjilat bekas telapak kaki sesorang, maka orang yang mempunyai tapak kaki ini akan meninggal seketika. Sinuwun…jikalau Raden Antareja sampai turun dalam gelanggang perang Baratayuda, bisa jadi semua musuh Pandawa akan mati kurang dari sehari. Dan sangat mungkin semua skenario yang dewata atur tidak akan terlaksana sama – sekali karena semua sekutu Kurawa sudah tewas oleh Antareja”

“Hmmm….anakku Kami tidak ragu dengan tepatnya pikiran dan analisamu. Tetapi bagaimana dengan Prabu Baladewa ? Kakandamu itu juga punya kesaktian yang luar biasa. Kita semua tahu, dia sangat sayang dengan Prabu Suyudono. Apakah kamu tidak mengkhawatirkan nasib Pandawa jika Baladewa berpihak kepada Kurawa??”

“Pikulun….,terimakasih atas kebijaksanaan dan pengertian Paduka terhadap kelancangan hamba. Mengenai….peran Kakanda Baladewa dan Raden Antareja serahkanlah kepada hamba. Insyaallah hamba dapat menyelesaikannya tanpa mengganggu skenario perang yang sudah Dewata susun”.

“Anakku, Ingsun percaya sepenuhnya kepadamu. Mengenai urusan Baladewa dan Antareja, kami serahkan kepadamu”

”Duh Pikulun, pepunden saya. Terimakasih atas kemurahan dan kebijaksanaan sinuwun ”

”Narayana…sekarang sudah waktunya kamu kembalikan kepada kami ajian Kembang Wijaya Kusuma. Mulai sekarang kamu tidak memerlukannya lagi anakku”
”Sendika dhawuh pikulun, hamba kembalikan Kembang Wijya Kusama kepada paduka Mohono diterima”

”Iya Ngger, dengan demikian kembalilah kamu ke ragamu. Tugasmu di dunia sudah menunggu. Kami doakan agar misimu demi kebaikan dunia berhasil dengan baik”

“Terimakasih Pikulun, salam hormat hamba dan mohon pamit”

Kita tinggalkan Kahyangan Suralaya, kita ke Padepokan Swarna Bhumi (Swala Bumi? Atau yang lain, saya lupa lagi. Tempat tinggal Raden Antareja). Raden Antaraja sedang bersedih hati dan kecewa atas keputusan Para Pinisepuh Pandawa yang tidak memilihnya menjadi salah satu Panglima Perang dalam pertempuran Baratayudha. Antaboga sang kakek, dan ibunda Dewi Naga Gini mencoba menghibur.

”Cucuku Ngger, Antareja. Ingsun perhatikan beberapa hari ini kamu kelihatan suntuk dan selalu bermuram durja. Kerja mu hanya keluar masuk kamar. Waktunya tidur kamu tidak tidur. Eyang perhatikan kamu juga tidak doyan makan, padahal ibumu sudah menyiapkan makan kesukaanmu..goreng belut dan sambel oncom. Apa yang menjadi beban pikirmu Cucuku ??”

”Duh eyang sesembahan saya, memang benar saat ini saya sedang kecewa, sedih dan marah. Saya iri dengan saudara – saudara saya, mereka semua dipercaya menjadi panglima perang. Adinda Gatot Kaca, Abimanyu, dll semuanya dipercaya oleh para pinisepuh Pandawa. Bahkan orang luar pun, seperti eyang Buyut Seto, Wratsangka dipercaya menjadi Panglima. Mengapa saya tidak ?? Saya ini khan anaknya Bimasena, panenggak Pandawa. Saya ini keturunan langsung Pandawa sebagai tokoh – tokoh utama perang baratayuda. Jika pertimbangannya karena kesaktian dan kepandaian dalam perang, hamba rasa saya tidak kalah dari panglima yang lain. Dengan kesaktian saya, saya akan menewaskan semua musuh pandawa dalam sekejap hanya dengan menjilat bekas telapak kaki meraka. Namun mengapa saya bukan salah satu yang dipilih sebagai jagoan pandawa ? Mengapa saya dikesampingkan ? Saya benar – benar kecewa eyang”

”Cucuku, yang gagah perkasa. Eyang mengerti semua kegundahan hatimu, eyang bisa memahami perasaanmu. Tetapi cucuku, kamu perlu menyadari bahwa kusir pandawa dalam perang ini tidak lain adalah Uwakmu Prabu Sri Bathara Kresna. Beliaulah pengatur strategi perang pandawa. Cucuku, uwakmu itu kekasih dewata, Beliau terkenal mempunyai pertimbangan dan kebijaksanaan yang matang tiada duanya. Beliau pasti mempunyai maksud dan strategi sendiri mengapa kamu tidak dipilih sebagai salah satu panglima perang. Maka dari itu Antareja, Eyang hanya bisa menyarankan cobalah kamu ke Dwarawati. Cari tahulah ke Uwak Prabu Kresna, Eyang yakin kamu akan dapat pencerahan darinya”

”Baiklah Eyang kalau memang begitu, saya menurut apa dhawuh Eyang. Saya tidak perlu menunggu lebih lama, ijinkanlah saya berangkat sekarang”

”Silakan cucuku, pamitlah pada ibumu terlebih dahulu. Doa dan berkat Eyang menyertaimu cah bagus…”

Kembali ke padepokan Jalatunda tempat Sri Kresna melakoni tapa brata. Karena kangen dengan Sri Kresna, para Pandawa dengan diantarkan punakawan mencari Sri Kresna sampai di pertapaan Jalatunda. Ingat geng Udawa dkk yang menjaga pertapaan Jalatunda? Menghadapi siapapun yang punya niat mendekati tapa brata Sri Kresna, dijamin geng ini akan dapat mengembalikan sebelum si empunya niat mencapai tujuannya. Tapi menghadapi Pandawa apalagi dengan didampingi Semar Badranaya, geng ini tidak dapat berbuat apa – apa kecuali membiarkan kekasih Prabu Kresna ini meneruskan niat mereka.

Maka sampailah rombongan Pandawa di samping tempat Prabu Kresna berbaring bertapa sare. Satu per satu mulai dari Puntadewa, Wrekudara mencoba membangunkan tidurnya Sang Ratu. Semuanya gagal. Semar yang sejatinya merupakan titisan Dewa Ismaya menyarankan Janaka untuk membangunkan Sri Kresna dengan cara yang dia sendiri yang tahu. Janaka mulai mengheningkan cipta, mengosongkan pikiran, melepaskan segala nafsu dan perasaan duniawinya. Konon Janaka memang orang yang paling dekat dengan Sri Kresna. Sewaktu muda mereka berguru bersama, Narayana adalah kakak seperguruan Arjuna, nama muda Janaka. Salain kakak seperguruan, Sri Kresna merupakan guru olah kanuragan dan guru kebatinan Arjuna. Mereka sangat kompak dan saling mengasihi satu sama lain. Sri Kresna juga kakak ipar Arjuna dari istrinya Wara Sembodro. Maka Arjuna sangat tahu gaya Sri Krsena dan bagaimana menyikapinya.

Syahdan, ruh Arjuna lepas dari badan fisiknya, mengangkasa menuju Kahyangan Suralaya. Tidak seberapa lama Arjuna dapat mengejar Narayana di alam lain. Terjadi perang tanding antara keduanya disebabkan Narayana tidak bersedia menuruti permintaan Arjuna untuk kembali ke bumi. Sejatinya Naryana hanya menguji keteguhan Arjuna dalam mengharapkan kembalinya Narayana. Beberapa saat terjadi adu kesaktian yang tidak sampai saling melukai keduanya. Dan kembalilah ruh keduanya ke badan fisiknya masing – masing. Sri Kresna telah selesai melaksanakan tapa brata untuk kebaikan umat dan dunia. Di pertapaan Jalatunda, sudah datang pula Antareja. Satria Swarna Bumi putra Raden Wrekudara dari istrinya Naga Gini.

Setelah basa – basi sebentar dan saling melepaskan rindu, berujarlah Sri Kresna kepada para Pandawa.

”Adik – adikku, syukur mangayu bagya aku telah selesai melaksanakan tapa brata dan berhasil mendapatkan petunjuk untuk kebaikan kita semua. Saya perlu katakan kepada kalian, bahwa perang baratayuda tidak dapat sedikitpun dihindarkan. Kelihatannya sudah menjadi takdir yang Maha Berwenang bahwa kalian semua akan menghadapi perang besar itu melawan saudara kalian sendiri sesama darah Kuru. Sekali lagi aku perlu menanyakan kepada kalian, apakah benar – benar kalian mempercayai aku untuk menjadi pendamping kalian di perang besar itu ?”.

Wrekudara menjawab,”Waaa…, seperti anak kecil pertanyaanmu!. Mengapa Si Hitam Kakangku, kamu masih menanyakan pertanyaan itu? Kurang apa keyakinan kami berlima kepadamu? Kalau tidak karena kami sangat mengharapkan Kakang mendamping kami, mengapa kami repot – repot menyusul Kakang ke sini ? Waa….orang tua nggak bisa dihormati kalau begitu”.

”He..he…yang sabar to Werkudoro, aku ini khan hanya pamong yang menguji keseriusan pemain utama terhadapku. Ya sudah, tidak usah diperpanjang lagi diskusi masalah ini. Terimakasih kalau kalian tetap mempercayai aku. Hanya saja, ibaratnya orang berjalan, semakin lama semakin berat beban yang sama – sama kita tanggung. Jadi kalian harus siap mengorbankan apa pun yang kalian punyai untuk kebenaran dan kepentingan dunia. Terutama kamu adikku Wrekudara, tidak terlalu lama lagi kamu akan mendapatkan cobaan yang sungguh berat. Tetapi itu tidak akan sia – sia adikku. Karena pengorbananmu bukan hanya untukmu, tetapi untuk kebaikan umat manusia. Kamu siap Wrekudara ??”

”Waa…, siap. Aku dari dulu sudah selalu menderita dan berkorbarn. Jadi mengapa aku takut menderita dan berkorban lagi saat ini ?? Aku percaya kepadamu Kakang”.

”Hmm…iya. Bagus adikku.”

Tanpa permisi, Petruk menyeruak masuk ke padepokan. ”Ada apa Petruk, larimu kayak dikejar anjing gila saja”, tanya Kresna.

”Anu sinuwun, di luar ada Raja dan para tentaranya mengamuk. Tanaman dan tegalan dibabat, penduduk dianaiaya, hewan – hewan ternah dijarah dan dibunuh. Katanya raja ini menuntut balas atas kematian ayahnya yang dulu tewas di tangan Sinuwun Prabu Kresna”.

”We la dalah, kelihatannya bukan maunya sendiri ini anak. Antareja, ini tugas muliamu anakku. Kamu bisa membereskan masalah ini ngger ?”.

“Sendika dawuh Uwak Prabu”. Antareja yang masih merasa kecewa dan sakit hati karena tidak diberikan tugas sebagai senopati perang, merasa tertantang untuk menghadapi kemarahan Raja tak diundang ini (Wah , saya lupa lagi nama raja ini). Diskusi di ruangan padepokan bubar, masing – masing mempersiapkan diri dan menyaksikan dari jauh krida Antareja.

Terjadi pertempuran yang sangat tidak seimbang antara Antareja dengan pasukan Raja Sebrang ini. Dengan kesaktian yang dimiliki, Antareja dengan mudah membinasakan musuh – musunya tanpa berpeluh. Setiap bekas telapak kaki musuhnya di tanah dijilat oleh Satria ini, seketika si empunya bekas telapak kaki tewas. Apalagi Antareja dapat menembus bumi, sehingga pergerakannya sedikitpun tidak dapat dideteksi oleh musuh – musuhnya. Raja sebrang dan sebagian besar pasukannya tewas, sisanya lari tunggang langgan menyelamatkan diri setelah melihat teman-2nya bergelimpangan, mati tanpa sebab.

Menyaksikan pertandingan tidak seimbang ini, Prabu Kresna geleng – geleng kepala, dan berguman dalam hati.

“We la, Antareja – Antareja, sangat kelihatan kamu mencari muka anakku. Kalau hal ini dibiarkan, ya bakal merusak tatanan. Kurawa akan habis dalam sehari kalau sampai Antareja terjun di medan perang Baratayuda. Ya sudah ngger anakku, memang sudah waktunya selesai pengabdianmu. Semoga kamu mendapatkan balasan yang setimpal anakku”.

Sri Kresna mendekati Antareja.

“Antareja, anakku”

“Sendika dawuh Uwak Prabu, semua musuh sudah saya binasakan Wak. Dengan kesaktian yang saya miliki, saya membuktikan dapat mengemban tugas seberat apapun Wak”

“Ya..ya, aku tidak heran anakku. Kamu memang satria pilihan, tanpa lawan dan tidak diragukan lagi kesetiaan dan pengabdianmu. Tapi anakku, aku masih punya musuh”

“Oh ya???, Mana wak, tunjukkan kepada anakmu ini. Akan saya binasakan musuh Uwak Prabu sekarang juga”.

“Tapi orangnya sudah lari, dan tidak kelihatan lagi”

“Apakah Uwak sempat melihat bekas telapak kakinya. Buat Antareja cukup dengan bekas telapak kaki dapat menewaskan musuhnya”.

”Iya, Uwak tahu bekas telapak kakinya…”

”Tunjukkan kepada ku Wak’

Sri Kresna membimbing Antareja dan menunjukkan satu telapak kaki seorang satria.

”Antareja, ini bekas telapaknya kakinya itu”

”Sebentar Wak, ini sepertinya bekas telapak kaki hamba lo”
”Lo iya to, masak sih ?”

”Iya Wak, ini hamba pas kan kaki hamba, sesuai”

”Hmm kalau itu kamu jilat, bagaimana ?”

”Saya akan mati Uwak”

”Hmm…, jadi kamu takut mati ? Antareja….bagaiman Pandawa akan memilih kamu untuk menjadi senopati kalau kamu takut mati anakku ?. Antareja, pengabdian dan kesetiaanmu kepada kebaikan dan kebenaran juga kepada pepundenmu para Pandawa tidak harus dengan menjadi senopati di Medan Perang Baratayuda ngger. Pengabdian dan kesetianmu bisa kamu tunjukkan kapan saja bahkan tanpa perlu orang lain tahu. Antareja, menurut perhitungan dan pendapat Uwak, pengabdianmu sudah lebih dari cukup dan sudah selesai waktunya. Dengan membinasakan Raja sebrang dan tentaranya tadi, kamu sudah membantu Pandawa dengan mengurangi kekuatan Kurawa ngger. Maka menurut yang Berwenang sudah cukup pengabdianmu di dunia”

”Aduh Uwak Prabu, maafkan semua kesalahan dan arogansi hamba selama ini. Saya baru mengerti sekarang mengapa saya diabaikan dalam pemilihan senopati. Semua karena kesombongan dan rasa besar diri hamba. Uwak Prabu, saya mohon doa restu, salam taklim hamba untuk Pepunden hamba Pandawa. Uwak Prabu, saya titip anak saya yang masih kecil, Arya Danurwenda”.

”Iya ngger, uwak doakan demi kebaikanmu keluargamu, para pandawa, dan anakmu Danurwenda akan menjadi tanggungan Uwak agar menjadi satria yang berguna untuk keluarga, bangsa dan agamanya seperti kamu Bapaknya Ngger”

Antareja tanpa ragu, menjilat bekas telapak kakinya sendiri. Gugur mengorbankan raga dan nyawanya demi berjalannya skenario para dewa untuk perang baratayuda yang fair dan memenuhi tatanan perang yang sesungguhnya.

Wrekudara tentu saja sangat sedih mengetahui anak kesayangannya gugur, hampir – hampir dia tidak mampu menguasai diri. Wrekudara juga menantang kesaktian Sri Kresna untuk menggunakan ajian Kembang Wijayakusuma untuk menghidupkan anaknya. Tetapi Kresna sudah tidak memegang ajian itu lagi.

”Sudah Wrekudara, semuanya hanya menjalankan kodrat yang sudah dituliskan. Kita hanya bisa menjalani dengan cara darma kebaikan. Saya sudah katakan beberapa waktu yang lalu, cobaan ini akan semakin berat. Dan kamu, adikku yang paling kuat yang paling sentosa akan mendapatkan cobaan yang paling besar diantara para pandawa. Seperti biasanya, kamu harus tegar adikku. Sebentar lagi baratayuda digelar. Masih banyak yang harus kalian urus. Sekarang, biarkan jasad antareja kita urus sesuai dengan agama dan kepercayaannya”.

Duka itu pelan – pelan telah pergi. Belum sempat sepenuhnya mereka beristirahat setelah mengurus jenasah Antareja, Petruk kembali membawa kabar.

”Ada apa Truk?”, tanya Sri Kresna.

”Anu Sinuwun Prabu, kita kedatangan tamu. Prabu Suyudono menghadap dengan didampingi Pandita Druna. Bagimana sinuwun ??”.

”We la…ya sudah, nggak apa – apa. Kamu matur ke Prabu Suyudono, bilang aku mau menemui beliau di luar. Tapi jangan ada Kakang Druna.”

”Siap Komandan !”.

”Wrekudara, kamu ikut aku Dik menemuai Kakangmu Prabu Suyudono”.

Tanpa didampingi Pandito Druna, Prabu Duryudono betemu dengan Sri Kresna.

”Apa khabar Adi Prabu ??”, sapa Prabu Kresna.

“Baik Kakang, tidak usah basa – basi Kakang Prabu Kresna, to the poin saja. Kedatangan saya ke sini sejatinya inging memboyong Kakang Kresna ke Astina.


Saya sudah siapkan tempat yang nyaman, makanan berlimpah enak – enak, hiburan segala rupa, apapun yang Kakang Kresna mau.”

“Sebentar to Di, buat apa adinda ingin memboyong Kakang ke Astina?”

“Untuk membeking Kurawa dalam Perang Baratayuda. Sebab saya yakin kalau Kakang ada di pihak kami, Kurawa akan menang perang. Dan Pandawa akan tertumpas habis. So, mari Kakang segera saya iringkan ke Astina.”

“Sabar dulu adinda, coba dipikir yang matang, dipertimbangkan dengan seksama. Saya punya tawaran untuk adinda yang barangkali lebih menarik”.

“Tawaran apa itu ??”

“Adinda, dewa sudah menyiapkan seribu raja lengkap dangan panglima perang, tentara dan perlengkapan perang masing – masing untuk membantu pihak yang mau dalam perang besar nanti. Jadi mana yang adinda pilih Kresna satu, tanpa prajurit, tanpa senjata atau seribu raja lengkap dengan tentara dan perlengkapan perangnya ?”

“Hmmm…menarik juga tawaran Kakang itu?”

“Ya..ya, tapi tolong adinda pikir masak – masak, tidak perlu terburu-2, saya bisa menunggu jawaban adinda saat ini”.

“Ha..ha…, saya pilih seribu raja dengan tentara – tentara dan senjatanya!”

“Yang benar pilih Kresna atau seribu raja ?”

“Seribu raja !!”

“Sekali lagi, seribu raja atau Kresna??”

“Tetap seribu raja!”
”Sudah yakin dengan pilihan itu ??”

”Yakin 100 % !!”

”Baik adinda, Sabda pandita ratu tidak bisa diralat – ralat. Para Dewa dan jagad seisinya ini menyaksikan janji Adinda”.

“Ha…ha….baik Kakanda !”

Seperti mendapat lotere, merasa benar dengan pilihannya mendapatkan dukungan seribu raja dengan pasukan dan perlengkapan senjata masing-masing, Duryudono kembali ke perkemaham dengan berjingkrak – jingkrak, menari – nari dan berdendang ria. Duryudono menyombongkan apa yang diperoleh kepada Pandita Druna.

“Yes..yes..yes….! Bapa Druna…!!! Misi aku berhasil!!!.”

“Syukur alhamdullillah angger, bagus sekali. Lo la mana Prabu Kresna ??”

“Guoblok!!! Siapa bilang aku bawa Prabu Kresna. Bukan Prabu Kresna yang aku bawa, tapi kita akan mendapatkan seribu raja dengan tentara dan perlengkapan perangnya masing – masing.”

“Sebentar – sebentar….Ceritanya bagaimana to Ngger ?”. Berceritalah Duryudona mengenai apa yang terjadi dan pilihannya kepada seribu raja.

“Waduh ngger, ketiwasan. Hu…hu…hu….Kok bisa begitu ngger??? Wong sudah jelas – jelas diberi pilihan prabu Kresna. Kok ya milih yang lain….Udah ketahuan yang lain nggak setia…Kok ya dipiliiiiiiiiih gitu lo. Gimana to ngger……., wong sudah diwanti-2. Ini wangsit dewata buat Bapa Druna! Hu…hu….hu…. Siapapun yang dapat memboyong Kresna dia menang. Oalah…kok malah lebih cinta yang lain..”.

“Wush…! Malah nangis kayak bayi kelaparan. Coba dipikir Bapa. Kita bakal dapat seribu raja, SERIBU plus panglima, tentara dan senjata. Hanya orang bodho yang milih satu orang.”

”Iya ngger, kalau satu orangnya bukan Kresna. Ini Sri Kresna ngger, titisan Dewa Wisnu. Yang mampu tiwikrama berubah rupa menjadi raksasa segedhe Gunung Semeru. Apa artinya seribu raja menghadapi tiwi krama Sri Kresna. Lama mijit buah ranti ngger, para rajamu itu akan dipithes satu – satu oleh Sri Kresna yang tidak mempan senjata. Akan habis juga berapa ribu pun tentara dan pasukan yang menghadapi Sri Kresna”.

”Walah, cilaka Bapa. Terus gimana dunk ??”

”Sana, kembali lagi. Ralat pilihan…Milih Sri Kresna  meskipun cuman satu”.

Kembali Duryudona menemui Sri Kresna, dengan tujuan meralat pilihan. Waktu sudah tidak dapat diputar, nasi sudah menjadi bubur. Pilihan tidak mungkin ditukar kembali. Maka Prabu Duryudono berniat memamaksakan kehendak. …

Duryudana berniat memaksa Kresna untuk menuruti kemauannya diboyong ke Astina guna mendampingi Kurawa dalam perang Baratayuda.

”Dinda Kurupati, ada apa lagi ??”, tanya Kresna.

”Begini Kakang Prabu, aku berniat mengubah pilihanku. Aku tidak mau seribu raja. Aku hanya menginginkan Kakang Prabu Kresna saja. So, mari kita sama – sama ke Astina Kakang”

”He..he…he, Dinda…anda itu raja lo. Katanya raja segala raja, wilayahmu luas, jajahanmu banyak, Dinda juga didampingi penasehat dan pinisepuh yang mumpuni. Malu, kalau sampai tidak komitmen dengan apa yang Dinda katakan. Tidak pantas bagi seorang raja besar seperti Dinda untuk cidera janji….”

”Sudah…aku tidak peduli. Mau tidak mau Kanda Prabu harus ikut aku ke Astina sekarang juga”

”Wrekudara, kalau menurut kamu gimana Dik??”, Kresna menanyakan kepada Wrekudara. Wrekudara yang marahnya sudah sampai ubun – ubun tidak bisa menahan lagi. Tanpa basa – basi, diterjangnya Prabu Kurupati. ”Waa…….Kakang Kurupati….., memang kamu tidak pantas menjadi Raja. Minggat !!!!!!”. Dengan sekali tendang, Kurupati melayang. Kurupati mencoba melawan, menghindar dan menangkis. Namun Wrekudara memang bukan lawan yang seimbang buat Duryudana kali ini. Duryudana menjadi bulan – bulanan Wrekudara.. Adegan ini disaksikan juga oleh patih Sangkuni. Sesaat sebelum Wrekudara sempat melihat Sangkuni dari jauh, Sangkuni sudah lari tunggang langgang mengadu kepada Baladewa.

”Wah…wah…, cilaka dua belas Sang Prabu Baladewa….Hamba mengaturkan berita duka dan mengecewakan paduka”

”Sangkuni, orang tua, apa lagi ???”

”Begini Prabu, Adinda Prabu Kurupati dihajar habis – habisan oleh Wrekudara”.

”Biarin aja, orang Raja nggak tahu diuntung. Kalian Kurawa memang tidak mengerti rasa hormat, aku sudah tidak peduli lagi”

”Lo…lo…lo…., jangan begitu Prabu Baladewa. Kalau hanya menganiaya Prabu Kurupati apalagi menganiaya saya, Patih Sengkuni tidak masalah Prabu. Cuman yang Sengkuni sayangkan kok Wrekudara membawa – bawa nama Paduka Prabu Baladewa…Wah itu yang saya tidak bisa terima..”

”Kamu bicara apa ?? Memangya ngomong apa Wrekudara tentang diriku???”

”Iya, memang Wrekudara khan temperamental begitu Sang Prabu….Maka sambil menghajar Prabu Kurupati, Wrekudara menantang Paduka. Begini katanya…’Hayo jangan hanya Duryudono dan Sangkuni yang maju. Semua Kurawa suruh maju ke sini….biar aku habisin semuanya. Kalau perlu suruh ke sini Raja Mandura kakak kalian itu, aku tidak takut. Apanya yang ditakuti dari Baladewa. Jangankan cuman satu, sepuluh Baladewa, Wrekudara tidak akan mundur. Baladewa hanya menang bacot saja…Hayo…suruh ke sini orang tua itu’, masak dia berani – beraninya bicara seperti itu Prabu…”

”Kurang ajar, Wrekudara………….!!!! Aku yang datang. Kamu dulu belajar olah trengginasnya menggunakan senjata gada, berguru ke Baladewa. Sekarang kamu mencak – mencak nantang aku. Sudah kuwat tulang ototmu ya…????!!!! Hayo kita perang tanding, kita lihat siapa yang akan dapat malu…”. Memang Baladewa terkenal pemarah. Bertindak dulu baru berpikir. Apalagi dalam kondisi sedang marah. Ibarat bensin ketemu api, sedikit percikan saja langsung berkobar – kobar. Terlebih Sangkuni memang ahlinya dalam provokasi, maka Baladewa langsung bertindak tanpa pamitan. Tinggal Sangkuni yang tertawa girang karena merasa menang.

Wrekudara hanya menangkis saja mendapat serangan bertubi – tubi dari Baladewa.
Tanpa membalas.

”Hayo…katanya kamu kuat, katanya kamu paling perkasa di seantero Jagad Amarta. Mana….???!!! Tunjukkan kekuatanmu Wrekudara! Jangan hanya menangkis. Kalau kamu memang laki – laki sejati, tunjukkan kesaktianmu!!! Mana Gada Rujakpolo mu yang katanya bisa membinasakan seribu gajah sekali ayun. Ayoooo keluarkan, gunakan !!!! Kita adu dengan Nenggala Kunta! Senjata pamungkas Mandura…”

Melihat Badewa semakin kalap dan siap dengan Nenggala Kunta nya, Wrekudara sebenarnya berniat meladeni dan membalas serangan itu. Apalagi bagi dirinya, pantang menghindar dari peperangan. Jangankan Prabu Baladewa, dulu ketika lakon Pandawa ngenger, Raja Raksasa Imantaka pemakan manusiapun dihadapinya dan hanya Wrekudara yang bisa mengalahkan raja raksasa yang lalim itu. Maka sebenarnya bukan perkara sulit bagi Wrekudara untuk melayani tantangan Baladewa. Tetapi Wrekudara ingat siapa Baladewa dan bagaimana perangainya. Baladewa adalah Kakak Kandung Sri Kresna. Dia juga guru Wrekudara untuk olah kanuragan penggunaan senjata gada. Wrekudara memilih lari dan mengadukan kepada Sri Kresna.

”Jeliteng, Kakangku, itu Baladewa ngamuk. Apa – apa dihantam dengan gadanya. Kalau tidak karena Kakang Kresna, orang itu sudah aku hajar habis….”

”He…he…he.., sabar Dik. Kamu kok seperti tidak tahu saja bagaimana perangai Kakang Baladewa. Sekarang kamu hadapi lagi Kakang Baladewa. Tapi begini, nanti kalau dia mengayunkan gadanya kamu hindari.”

”Waa…memalukan….!! Seumur – umur tidak pernah aku dalam perang menghindari senjata lawan. Nggak mau, biar aku hadepi saja kalau perlu aku rebut dan aku balas.
Kalau kamu merestui, biar aku selesaikan Kakang Baladewa itu…”

”Sudah lah Dik, kamu ikut saja apa kataku kali ini”

”Begitu ?, Ya sudah, aku ikut saja”

”Nah, harusnya begitu….Sudah sana hadapi lagi Kakang Baladewa”

Kembali Wrekudara menghadapi Prabu Baladewa yang masih mengamuk dan berteriak – teriak.

”Ha..ha..ha.., aku kira kamu benar – benar lari tunggang langgang. Ternyata kamu masih punya nyali Wrekudara..!!!! Hayo, kamu hadapi gurumu ini. Berani kamu menerima pukulan Nenggala Kunta ???”

”Waa….bukan watak Wrekudara melarikan diri dari peperangan. Sini, cepat kamu ayunkan Nenggala Kunta mu. Wrekudara ingin lihat….sesakti apa gada Kakang Baladewa itu”

Syahdan, dengan sekuat tenaga Prabu Baladewa mengayunkan Gada Nenggala Kuntanya. Secepat kilat ayunan itu, tetapi lebih cepat Wrekudara menghindar. Gada menghujam keras ke tanah. Saking kerasnya senjata tumpul itu sampai menancap lebih dari separo ke dalam bumi. Bebarengan dengan menancapnya gada Nenggala Kunta, keluar kobaran api dari bumi tempat nenggala Kunta menancap. Prabu Baladewa dengan sekuat tenaga mencoba mencabut senjatanya. Tidak bisa tercabut. Tiba – tiba terdengar suara menggelegar memenuhi angkasa.

”Hai…Baladewa………..!!!! Kamu memang tidak tahu diri, apa salahku, bumi ini ????. Sehingga kamu tega menganiaya aku dengan gadamu. Aku bumi, sudah memberikan tempat hidup dan sumber penghidupan bagi kamu, manusia dan semua makhluk di atasnya. Tapi mengapa kamu bersikap anaiaya kepadaku ?? Aku tidak terima atas perlakuanmu..Dengan disaksikan jagad seisinya, aku bersumpah….suatu saat nanti menjelang kematianmu. Kamu akan dijepit bumi dengan penuh penderitaan ….!!!!!! Saksikanlah itu. Ini gadamu aku lepaskan kembali ….!!!”

”Waduh…cilaka aku….Mengapa kejadian ini harus menimpaku……..! Waduh dosa apa aku? Aku tidak mau matiku dengan cara seperti itu.

Adikku Kresna………..aku yang datang Dik, mohon pertolonganmu Dinda”. Baladewa menemui adiknya dan menceritakan apa yang dialami dengan perasaan bersalah, rasa takut, dan penyelasalan yang mendalam. Di wajahnya terlihat kengeriaan yang luar biasa menghadapi kematiannya nanti.

”Kakang prabu, itu semua memang salah Kakang Prabu Baladewa. Kakang Prabu harus bersabar menerima balasannya. Cara kematian seperti itu merupakan sarana Kakang Prabu menebus dosa, jadi beban di alam akherat nanti tidak terlalu berat Kakang tanggung”

”Wah iya Dik, tapi tidak adakah cara lain selain dijepit bumi ???? Apakah Kakang tidak bisa membayar denda yang lain selain siksaan seperti itu ???? Tolong lah Dik…..Aku benar – benar tidak mampu membayangkan sakit, pedih dan malunya mengalami seperti itu”

”Hmmm iya kakang, sebenarnya ada cara lain untuk menebus sumpah Bumi tadi. Yaitu Kakang Prabu harus bertapa mandi di Grojokan Sewu. Bagaimana Kakang ???”

”Ya aku sanggup, lebih enak bertapa mandi daripada dijepit bumi. Tapi berapa lama…???”

”Kakang, kakang harus bertapa mandi sampai dengan mekarnya Bunga Teratai di kolam sekitar grojokan itu. Apa Kakang sanggup ??”

”Ya, Kakang sanggup…”

”Baiklah kalau begitu, untuk menjaga tapa brata Kakang, biarlah keponakan Kakang, Si Samba nanti yang menjaga di luar dan akan mengabarkan kepada Kakang kalau Bunga Teratai sudah mekar. Samba, tolong kamu jaga Uwak Prabu anakku”

”Baik lah Kanjeng Rama”

Baladewa dengan diantar Raden Samba menuju grojokan sewu yang merupakan hilir suatu sungai yang hulunya dekat Tegal Kurusetra tempat digelarnya Perang Baratayuda.

Karena tapa brata jauh dari Tegal Kurusetra inilah, Prabu Baladewa tidak sempat menyaksikan dan mengalami Perang Baratayuda yang sebentar lagi digelar. Kelak di akhir tapa bratanya, Prabu Baladewa melihat dan merasakan sisa – sisa perang besar itu. Darah, ceceran daging manusia maupun hewan kendaraan perang dan juga potongan – potongan senjata perang banyak yang terhanyut di sungai itu dan mengalir ke grojokan tempatnya bertapa.

Sampai di sini cerita Kresna Gugah….Kresna berhasil mengemban amanah dewa untuk menyelesaikan masalah Antareja dan Prabu Baladewa yang belum terakomodir di skenario perang Baratayuda.

LihatTutupKomentar