Hubungan Antropologi dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya

Hubungan Antropologi dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya
Mengenai hubungan antropologi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, Koentjaraningrat (1981: 35-41) mengemukakan sebagai berikut;
 Mengenai hubungan antropologi dengan ilmu Hubungan Antropologi dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya

Hubungan sosiologi dengan antropologi, sepintas lalu lebih banyak ke arah kesamaannya. Namun demikian sosiologi yang pada mulanya merupakan bagian dari ilmu filsafat, sejak lahirnya sosiologi oleh Auguste Comte (1789-1857), ilmu itu bercirikan positivistik yang obyek kajiannya adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok itu mencakup; keluarga, etnis maupun suku bangsa, komunitas pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, budaya, bisnis dan organisasi lainnya (Ogburn dan Nimkoff, 1959: 13; Horton dan Hunt, 1991: 4). Sosiologi juga mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap para anggotanya. Dengan demikian sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia terutama dengan fokus melihatnya dari sudut hubungan antar manusia, dan proses-proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.

Demikian juga antropologi, yang berarti “ilmu tentang manusia”. Dahulu istilah ini digunakan dalam arti yang lain yakni “ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia” (malahan pernah juga dalam arti “ilmu anatomi”. Dalam perkembangannya istilah antropologi juga sering disejajarkan dengan ethnologi walaupun berbeda. Cultural anthropology akhir-akhir ini dipakai di AS dan negara-negara lain termasuk Indonesia, untuk menyebut bagian antropologi dalam kajian non-fisik (budayanya).

Dalam antropologi budaya inilah mempelajari gambaran tentang perilaku manusia dan konteks sosial budayanya. Jika saja sosiologi orientasinya memusatkan perhatian secara khusus kepada orang yang hidup di dalam masyarakat modern, sehingga teori-teori mereka tentang perilaku manusia cenderung “terikat pada kebudayaan tertentu (culture bound); artinya teori-teori ini didasarkan atas asumsi-asumsi tentang dunia dan realitas yang sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan Barat mereka sendiri, biasanya kebudayaan versi kelas menengah, yang dikhususkan untuk orang-orang profesi. Sebaliknya antropologi budaya berusaha mengurangi masalah keterkaitan teori kepada kebudayaan tertentu dengan cara mempelajari seluruh umat manusia dan tidak membatasi diri kepada studi tentang bangsa-bangsa Barat; para ahli antropologi menyimpulkan bahwa untuk memperoleh pengertian yang memadai tentang perilaku manusia, sebab itu seluruh umat manusia harus dipelajari (Haviland, 1999: 12). Barangkali lebih dari pada ciri-ciri lain, yang membedakan antropologi budaya dari ilmu-ilmu sosial lainnya itu ialah perhatiannya kepada masyarakat-masyarakat non-Barat.

Hubungan psikologi dan antropologi; hal ini nampak karena dalam psikologi itu  pada hakekatnya mempelajari perilaku manusia dan proses-proses mentalnya. Dengan demikian dalam psikologi membahas faktor-faktor penyebab perilaku manusia secara internal (seperti motivasi, minat, sikap, konsep diri, dan lain-lain). Sedangkan dalam antropologi khususnya antropologi budaya itu lebih bersifat faktor eksternal (lingkungan fisik, lingkungan keluarga, lingkungan sosial dalam arti luas). Kedua unsur itu saling berinteraksi satu sama lain yang menghasilkan suatu kebudayaan melalui proses belajar. Dengan demikian kedua-duanya memerlukan interaksi yang intens untuk memahami pola-pola budaya masyarakat tentu secara bijak. Tidak mungkin kita bisa memahami mengapa fenomena Oedipus Complex itu tidak universal seperti yang diteorikan Freud? Di sinilah B. Malinowski meneliti pemahaman psikologi yang disertai kajian budaya yang mendalam telah membantah teori psikoanalistis murni (Koentjaraningrat, 1987: 170-171). Selain itu juga ia telah berhasil mengembangkan teori fungsionalisme yang bersifat sintesis psikologi-kultural, yang isinya bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.

Hubungan ilmu sejarah dengan antropologi, adalah lebih menyerupai hubungan antara ilmu arkheologi dengan antropologi. Antropologi memberi bahan prehistory sebagai pangkal bagi tiap penulis sejarah dari tiap penulis sejarah dari tiap bangsa di dunia. selain itu, banyak persoalan dalam historiografi dari sejarah sesuatu bangsa bisa dipecahkan dengan metode-metode antropologi. Banyak sumber sejarah berupa dokumen, prasasti, naskah tradisional dan arsip kuno, di mana peranannya sering hanya bisa memberi peristiwa-peristiwa sejarah yang terbatas kepada bidang politik saja. Sebaliknya, seluruh latar belakang sosial dari peristiwa-peristiwa politik tadi sukar diketahui hanya dari sumber-sumber tadi. Konsep-konsep tentang kehidupan masyarakat yang dikembangkan oleh antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, akan memberi pengertian banyak kepada seorang ahli sejarah untuk mengisi latar belakang dari peristiwa politik dalam sejarah yang menjadi objek penyelidikannya.

Demikian juga sebaliknya bagi para ahli antropologi jelas memerlukan sejarah, terutama sekali sejarah dari suku-suku bangsa dalam daerah yang didatanginya. Sebab sejarah itu diperlukan terutama guna memecahkan masalah-masalah yang terjadi karena masyarakat yang diselidikinya mengalami pengeruh dari suatu kebudayaan dari luar. Pengertian terhadap soal-soal tadi baru bisa dicapai apabila sejarah tentang proses pengaruh tadi diketahui juga dengan teliti. Selain itu untuk mengetahui tentang sejarah dari suatu proses perpaduan kebudayaan, seringkali terjadi bahwa sejarah dari suatu proses perpaduan kebudayaan, seringkali terjadi bahwa sejarah tadi masih harus direkontruksi sendiri oleh seorang peneliti. Dengan demikian seorang sarjana antropologi sering kali harus juga memiliki pengetahuan tentang metode-metode sejarah untuk merekonstruksi suatu sejarah dari suatu rangkaian peristiwa sejarah.

Hubungan ilmu geografi dengan antropologi. Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa geografi atau ilmu bumi ini itu mencapai pengertian tentang keruangan (alam dunia) ini dengan memberi gambaran tentang bumi serta karakteristik dari segala macam bentuk hidup yang menduduki muka bumi. Di antara berbagai macam bentuk hidup di bumi yang berupa flora dan fauna itu terdapat makhluk manusia di mana ia makhluk manusia itu juga beraneka ragam sifatnya di muka bumi ini. Di sinilah antropologi berusaha menyelami keanekaragaman manusia jika dilihat dari ras, etnis, maupun budayanya (Koentjaraningrat, 1981: 36).

Begitu juga sebaliknya, seorang sarjana antropologi sangat memerlukan ilmu geografi, karena tidak sedikit masalah-masalah manusia baik fisik maupun kebudayaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan alamnya.

Hubungan ilmu ekonomi dengan antropologi. Sebagaimana kita ketahui penduduk desa jauh lebih banyak dari pada penduduk kota, terutama di luar daerah kebudayaan Eropa dan Amerika, kekuatan, proses dan hukum-hukum ekonomi yang berlaku dalam aktivitas kehidupan ekonominya sangat dipengaruhi sistem kemasyarakatan, cara berfikir, pandangan dan sikap hidup  warga mayarakat pedesaan itu. Mayarakat yang demikian itu, bagi seorang ahli ekonomi tidak akan bisa mempergunakan dengan sempurna konsep-konsep serta teori-teorinya tentang kekuatan, proses, dan hukum-hukum ekonomi tadi (yang sebenarnya dikembangkan dalam masyarakat  Eropa-Amerika serta dalam rangka ekonomi internasional), jika tanpa suatu pengetahuan tentang sistem sosialnya, cara berfikir, pandangan  dan sikap hidup dari warga masyarakat pedesaan tadi. Dengan demikian seorang ahli ekonomi yang membangun ekonomi di negara-negara serupa itu tentu akan memerlukan bahan komparatif mengenai, misal; sikap terhadap kerja, sikap terhadap kekayaan, sistem gotong royong, dan sebagainya yang menyangkut bahan komparatif tentang berbagai unsur dari sistem masyarakat dari negara-negara tadi. Untuk pengumpulan keterangan komparatif itu ilmu antropologi memiliki manfaat yang tinggi bagi seorang ekonom.

Hubungan antara ilmu politik dan antropologi. Hal ini dapat dilihat bahwa ilmu politik telah memperluas kajiannya pada hubungan antara kekuatan-kekuatan serta proses-proses politik dalam segala macam negara dengan berbagai macam sistem pemerintahan, sampai masalah-masalah yang menyangkut latar belakang sosial budaya dari kekuatan-kekuatan politik itu. Hal ini sangat penting jika seorang ahli ilmu politik harus meneliti maupun menganalisis kekuatan-kekuatan politik di negara-negara yang sedang berkembang.

Dalam hal ini dapat diambil contoh; apabila di suatu negara berkembang seperti Indonesia, terdapat suatu partai politik berdasarkan ideologi Islam misalnya, maka cara-cara partai itu berhubungan, bersaing atau bekerja sama dengan partai-partai lain atau kekuatan-kekuatan politik lainnya di Indonesia, tidak hanya akan ditentukan oleh norma-norma dan metode perjuangan kepartaian yang lazim. Ditambah dengan prinsip-prinsip dan ideologi agama Islam, melainkan juga oleh latar belakang, sistem norma, dan adat istiadat tradisional dari suku bangsa dari para pemimpin atau anggota partai, yang seringkali menyimpang dari ketentuan-ketentuan norma kepartaian dan ideologi Islam. Agar bisa memahami latar belakang dan adat istiadat tradisional dari suku bangsa itulah, maka metode analisis antropologi menjadi penting bagi seorang ahli ilmu politik untuk mendapat pengertian tentang tingkah laku dari partai politik yang ditelitinya.

Tentunya seorang ahli antropologi dalam hal mempelajari suatu masyarakat guna menulis sebuah deskripsi etnografi tentang masyarakat itu, pasti akan menghadapi sendiri pengaruh kekuatan-kekuatan dan proses politik lokal serta aktivitas dari cabang-cabang partai politik nasional. Dalam menganalisis fenomena-fenomena itu, ia perlu mengetahui konsep-konsep dan teori-teori dalam ilmu politik yang ada.

Referensi;
Koentjaraningrat, 1981, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Horton, Paul, B. dan Hunt, Chester, L., 1991, Sosiologi, Jilid 1, Terjemahan: Aminuddin Ram dan Tita Sobari, Jakarta Erlangga.
Haviland William A., 1999, Antropologi, Jilid 1, Terjemahan; R. G. Soekardijo, Jakarta: Erlangga.

Demikianlah ulasan mengenai ” Hubungan Antropologi dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya”, yang pada kesempatan ini dapat di bahas disini, dan semoga ulasan di atas dapat bermanfaat bagi para pengunjung dan pembaca. Cukup sekian dan saya harap anda membaca artikel-artikel lain. Terima kasih!

*Rajinlah belajar demi Bangsa dan Negara, serta jagalah kesehatanmu!
*Semoga anda sukses!
LihatTutupKomentar